Tahlilan Berasal Dari Agama Hindu
Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian yaitu menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca yaitu surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini secara simpel dan ilmiah. Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari, bukan berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan juga Ijma Sahabat, malah kita sanggup melacaknya dikitab-kitab agama hindu. Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang yang meninggal bila tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan yaitu jelas-jelas berasal dari fatwa agama Hindu. Dalam agama Hindu ada syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu mencakup percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati lantaran sanggup menjadi yang kuasa terdekat dari insan [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi : “Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu. Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia menyampaikan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, terperinci yaitu fatwa Hindu”. Telah terperinci bagi kita pada awalnya fatwa ini berasal dari agama Hindu, selanjutnya umat islam mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur kedalam ritual ini. Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Apakah mencampur-campur fatwa mirip ini diperbolehkan?? Iya, campur mencampur fatwa ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya. Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya? Allah berfirman : وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ ”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak menerima petunjuk?” (QS Al Baqoroh ayat 170) Allah berfirman : وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah kau mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kau sembunyikan kebenaran sedangkan kau mengetahuinya” (QS Al Baqarah 42) Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan fatwa agama islam (kebenaran) dengan fatwa agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan insan bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa insan itu lebih berakal dari Allah??? Selanjutnya Allah berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kau ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kau turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang konkret bagimu”.(QS. Albaqoroh : 208). Allah menyuruh kita dalam berislam MENYELURUH, tidak setengah-setengah… TIDA K SETENGAH HINDU…SETENGAH ISLAM… TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN berdasarkan Syekh Nawawi, Syekh Nawawi al-Bantani , Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang berpengaruh dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu . “ Shadaqah untuk mayit , apabila sesuai dengan tuntunan syara ’ yaitu dianjurkan , namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya , sementara berdasarkan Syaikh Yusuf , telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melaksanakan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya , atau hari ke tujuh , atau ke duapuluh , atau ke empatpuluh , atau ke seratus dan setelah nya hingga di biasakan tiap tahun dari kematian nya , padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan kuliner yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram aturan hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim ”. (an-Nawawy al-Bantani , Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281) . Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) TAHLILAN DALAM DIALOG SUNANAN AMPEL DENGAN SUNAN KALIJOGO Berikut yaitu dokumen yang sanggup di pertanggung jawabkan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo ; HET BOOK VAN BONANG [1] buku ini ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo . Kalau tidak dibawa Belanda , mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap . Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada masa 15 yang berisi perihal ajaran- fatwa Islam . Dalam naskah kuno itu diantara nya menceritakan perihal Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ” Jangan ditiru perbuatan semacam itu lantaran termasuk BIDA’H ” . Sunan Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu ”. Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H . Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai dilema ini . Dimana Sunan Kalijogo , Sunan Bonang , Sunan Kudus , Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adab istiadat dengan Sunan Ampel , Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) . Sunan Kalijogo mengusulkan biar adab istiadat usang mirip selamatan , bersaji , wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman . Sunan Ampel berpandangan lain : “ Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adab istiadat dan upacara usang itu nanti dianggap sebagai fatwa yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi BID’AH ? Sunan kudus menjawabnya bahwa ia memiliki keyakinan bahwa di belakang hari ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64) . Sunan Ampel , Sunan Bonang , Sunan Drajat , Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk memberikan fatwa Islam secara murni , baik perihal aqidah maupun ibadah . Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme / mencampurkan , memadukan fatwa Hindu dan Budha dngn Islam . Tetapi sebaliknya Sunan Kudus , Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba mendapatkan sisa-sisa fatwa Hindu dan Budha di dalam memberikan fatwa Islam . Sampai ketika ini budaya itu masih ada di masyarakat kita , mirip sekatenan , ruwatan , shalawatan , tahlilan , upacara tujuh bulanan dll . [ Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia ] , hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu . NASEHAT SUNAN BONANG ; Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “ Het Book van Mbonang ” itu yaitu peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih , dan mencegah diri dari kesesatan dan BID’AH . Bunyinya sebagai berikut : “ Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami- saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“. Artinya : “ Wahai saudaraku ! Karena kalian semua yaitu sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling menyayangi dengan saudaramu yang mengasihimu . Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan BIDA’H . [1] Dokumen ini yaitu sumber perihal walisongo yang dipercayai sebagai dokumen orisinil dan valid , yang tersimpan di Museum Leiden , Belanda . Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti . Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816 , dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881 , Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun 1935 . TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN MENURUT HASIL MUKTAMAR KE-1 Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian yaitu bid’ah yang hina , Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam .. Sekalipun seseorang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama , namun tidak melaksanakan tahlilan , akan dianggap tercela sekali . Di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an , menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al- Aqrimany disebutkan : “al- Khara’ithy menerima keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, dia berkata : ” Penghidangan kuliner oleh keluarga mayit merupakan pecahan dari perbuatan orang- orang jahiliyah “. kebiasaan tersebut oleh masyarakat kini sudah dianggap sunnah , dan meninggalkannya berarti bid’ah , maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan ” . (al- Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal . 286) . Dan para ulama berkata : “ Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir , oleh lantaran itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri program semacam itu ”. (al- Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) masih di di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an itu , bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal : 1 . Membebani keluarga mayit walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan kuliner , namun apabila sudah menjadi kebiasaan , maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan kuliner . 2 . Merepotkan keluarga mayit sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai , ditambah pula bebannya . 3 . Bertolak belakang dengan hadits Menurut hadits ,justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan kuliner kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita , bukan sebaliknya .” Bila diantara saudara kita menghadapi peristiwa alam kematian , hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan pengat kesabaran , sebagaimana Rasulullah memerintahkan berbagi kuliner bagi keluarga yang sedang terkena peristiwa alam tersebut , dalam hadits : “ Kirimkanlah kuliner oleh kalian kepada keluarga Ja’far , lantaran mereka sedang tertimpa dilema yang menyesakkan ”. (HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195) , al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61) , al- Daruquthny (Sunan al- Daruquthny, 2/78) , al- Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323) , al- Hakim (al- Mustadrak, 1/527) , dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah , 1/514) . (al-Mawa’idz angrodjong Nahdlatoel‘Oelama Tasikmalaya , hal 200) PANDANAGAN PARA SAHABAT TERHADAP KUMPUL-KUMPUL ORANG KEMATIAN Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata : ”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni berdasarkan mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di daerah mahir mayit dan berbagi kuliner setelah ditanamnya mayit termasuk dari pecahan meratap.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih. Dan anniyahah/ meratap ini yaitu perbuatan jahiliyyah yang dihentikan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada dua kasus yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan menyesali orang mati”. FATWA-FATWA ULAMA’ 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN I. MADZHAB HANAFI 1 – HASYIYAH IBNU ABIDIEN Dimakruhkan hukumnya menghidangkan kuliner oleh keluarga mayit, lantaran hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya jelek apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, dia berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan kuliner oleh mereka merupakan pecahan dari niyahah”. Dan dalam kitab al- Bazaziyah dinyatakan bahwa kuliner yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240) 2 – AL-THAHTHAWY Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan kuliner yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al- Halaby, 1318), juz I hal 409). 3 – IBN ABDUL WAHID SIEWASY Dimakruhkan hukumnya menghidangkan kuliner oleh keluarga mayit, lantaran hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang jelek apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, dia berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan kuliner oleh mereka merupakan pecahan dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142) II.MADZHAB MALIKI 1 – AL-DASUQY Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan kuliner hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al- Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut:Dar al-Fikr) juz I, hal 419) 2 – ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY Adapun penghidangan kuliner oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam program tersebut dimakruhkan oleh lebih banyak didominasi ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai pecahan dari bid’ah, lantaran tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228) III . MADZHAB SYAFI’I 1 – AL-SYARBINY Adapun penghidangan kuliner oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam program tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al- Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan kuliner dan berkumpulnya masyarakat dalam program tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al- Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210) 2 – AL-QALYUBY Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan pecahan dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya yaitu yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan kuliner untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun setelah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353) 3 – AN-NAWAWY Adapun penghidangan kuliner oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam program tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an- Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) 4- IBNU HAJAR ALHAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan kuliner oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah.(Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al- Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577) 5 – AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan kuliner oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, mirip aturan mendatangi usul tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146) 6 – AL-AQRIMANY Adapun kuliner yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang jelek dan merupakan pecahan dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada masa pertama Islam, serta bukan merupakan pecahan dari pekerjaan yang menerima kebanggaan oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) 7 – RAUDLAH AL-THALIBIEN penghidangan kuliner oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap program tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al- Thalibien (Beirut: al- Maktab al- Islamy, 1405) juz II, hal 145) IV . MADZHAB HAMBALI 1 – IBN QUDAMA AL-MUQADDASY Adapun penghidangan kuliner untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. lantaran dengan demikian berarti telah menambahkan peristiwa alam kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah mirip apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk menyesali mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, mirip lantaran diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan menerima kuliner kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al- Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214) 2 – ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY Sesungguhnya disunahkan mengirimkan kuliner apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila kuliner tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, lantaran berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila kuliner tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al- Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231) 3 – ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY Menghidangkan kuliner setelah proses penguburan merupakan pecahan dari niyahah, berdasarkan sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits perihal dilema tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al- Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al- Miqna’ (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1400) juz II, hal 283) 4 – MANSHUR BIN IDRIS AL- BAHUTY Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan kuliner kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al- Marbi’ (Riyadl: Maktabah al- Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355) 5 – KASYF AL-QANA’ Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan kuliner merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan dia sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan kuliner (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, mirip lantaran di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang daerah tinggalnya jauh, mereka menginap di daerah keluarga mayit, serta secara adab tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan merasakan kuliner tersebut. Apabila biaya hidangan kuliner tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara mahir warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat mahir waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melaksanakan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149) 6 – IBN TAIMIYAH Adapun penghidangan kuliner yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang insan ke program tersebut, maka sebenarnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan kuliner oleh mereka merupakan pecahan dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316) SELAMATAN KEMATIAN DALAM KITAB FATAWA Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan : “ Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita . Bagaimanakah perihal binatang yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja , dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN , DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH , serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan dukungan roti yang diedarkan ke rumah-rumah perempuan yang menghadiri proses ta’ziyah mayit . Mereka melaksanakan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan . Kalau mereka melaksanakan adab tersebut dan beramal tidak bertujuaan (pahala) alam abadi , maka bagaimana hukumnya , boleh atau tidak ? Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak hingga haram (alias makruh) , kecuali (bisa haram) bila prosesi penghormatan pada mayit di rumah mahir warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’). Dalam melaksanakan prosesi tersebut , ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adab kebiasaan menyediakan kuliner pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh , dst- penj ) , biar mereka tidak menodai kehormatan dirinya , gara-gara ia tidak mau melaksanakan prosesi penghormatan di atas . kepercayaan Animisme mengenai orang mati berdasarkan Prof Hamka Menurut kepercayaan datuk nenek-moyang kita zaman purbakala, apabila seorang mati, datanglah roh orang yang mati itu ke dunia kembali, kemudian dia mengganggu ke sana ke mari , sehingga ada orang yang sakit . Oleh alasannya itu di anjurkan supaya kalau orang telah mati , hendaklah keluarga berkumpul- kumpul beramai-ramai di rumah orang yang kematian itu semenjak hari pertama, hari ketiga, hari keempat hingga hari ketujuh . Kemudian dia akan tiba lagi mengganggu pada hari yang ke empat puluh. Setelah itu dia akan tiba lagi mengganggu pada hari yang ke seratus, dan paling tamat sekali dia akan tiba kembali pada hari yang ke seribu. Sebab itu hendaklah orang beramai-ramai di rumah itu di hari-hari tersebut. Sebab roh itu takut tiba kalau ada ramai-ramai ! Maka setelah nenek-moyang kita memeluk Agama Islam belumlah hilang sama sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di rumah orang kematian di hari-hari yang tersebut itu, sebagai warisan zaman purbakala. Cuma diganti mantra-mantra cara usang dengan membaca al-Qur’an, terutama Surat Yasin . H Rusydi, Afif (editor), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 394. IMAM SYAFE’I MEMBENCI ALM’ATAM Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata ; . . dan saya membenci al- ma’tam , yaitu berkumpul (di daerah keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan , lantaran hal tersebut hanya akan menjadikan bertambah nya kesedihan dan membutuhkan biaya , padahal beban kesedihan masih menempel . (al-Umm juz I,hal 279) Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan perihal aturan dari al-Ma’tam : “ Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi , tidak pula dari sahabat-sahabatnya , dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya , demikian pula tidak terdapat keterangan dari mahir kitab yang sanggup digunakan pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad- musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits- hadits dari zaman nabi dan sahabat . BUNG KARNO DAN TALILAN Kepada A. Hassan, Soekarno juga bercerita mengenai ibu mertuanya yang telah meninggal dan kritik yang dialamatkan kepadanya lantaran ia dan keluarga tidak mengadakan program tahlilan untuk almarhumah ibu mertuanya. Dalam surat tertanggal 14 Desember 1935, Soekarno menulis: “Kaum udik di Endeh, di bawah fatwa beberapa orang Hadaramaut, belum tenteram juga membicarakan halnyatidak bikin ‘selamatan tahlil’ buat saya punya ibu mertua yang gres wafat itu, mereka berkata bahwa saya tidak ada kasihan dan cinta pada ibu mertua itu. Biarlah! Mereka tak tahu-menahu, bahwa saya dan saya punya istri, sedikitnya lima kali satu hari, memohonkan ampunan bagi ibu mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu mertua diampuni dosanya dan diterima dogma Islamnya. Moga-moga Allah melimpahkan Rahmat-Nya dan Berkat-Nya…” Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya yaitu sama dengan meratap Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya yaitu sama dengan meratap , Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah . Dari Thalhah : “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata : Apakah kau sekalian suka menyesali mayat ? Jarir menjawab : Tidak, Umar berkata : Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ? Jarir menjawab : Ya , Umar berkata : Hal itu sama dengan meratap ”. (al- Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad : Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) . Dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary , kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq : “ Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit , dan menginapnya para perempuan di rumah keluarga mayit ”. (al- Mashnaf Abd al-Razaq al- Shan’any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550 . Dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais , dia berkata : saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan , kemudian berkata : kalian akan menerima peristiwa dan akan merugi ”. Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepada kami , Waki’ bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary , dia berkata : Makanan yang dihidangkan keluarga mayat yaitu merupakan pecahan dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan pecahan dari perbuatan jahiliyah ”. 1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318). “Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah mahir mayit meskipun tidak ada tangisan, lantaran sebenarnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1] Perkataan imam kita diatas terperinci sekali yang tidak sanggup dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa dia dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini gres berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?” 2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan gres ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : “Adapun mahir mayit berbagi kuliner untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas peristiwa alam mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan mirip perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kau diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah mahir mayit dan mereka menciptakan kuliner ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !” 3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : “Telah setuju imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya mahir mayit menciptakan kuliner untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya yaitu HARAM lantaran menyesali mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah mahir mayit) pecahan dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah mahir mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang kini ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah mahir mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)…….. Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat mahir mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sebenarnya yang demikian itu yaitu muhdats (hal yang gres yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats yaitu ” Bid’ah.” Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di tamat syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang kini ini yaitu berkumpul-kupmul (di daerah mahir mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu yaitu HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita). Kita memohon kepada Allah keselamatan !” 4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan perihal bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah mahir mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan dia menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang dia tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun dia tegaskan di kitab dia “Raudlotuth Tholibin (2/145). 5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat mahir mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah lantaran sebenarnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats yaitu ” Bid’ah “. Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306] 6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut yaitu ” Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang dia katakan shahih. 7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah mahir mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit yaitu ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah. 9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun mahir mayit menciptakan kuliner untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah peristiwa alam mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan mirip (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”. 10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya perihal dilema ini dia menjawab : ” Dibuatkan kuliner untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) berbagi kuliner untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139] 11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai berbagi kuliner untuk mahir mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka menciptakan kuliner untuk para penta’ziyah. Demikian berdasarkan madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93] 12. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i (I/79), ” Disukai berbagi kuliner untuk mahir mayit.” KESIMPULAN. Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat mahir mayit hukumnya yaitu BID’AH dengan janji para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat. Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila mahir mayit berbagi kuliner untuk para penta’ziyah. Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya. Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji berdasarkan SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memperlihatkan kuliner untuk mahir mayit yang sekiranya sanggup mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat. “Buatlah kuliner untuk keluarga Ja’far ! Karena sebenarnya telah tiba kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni peristiwa alam kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)] Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita mirip Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas). Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya menciptakan kuliner untuk mahir mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya sanggup mengenyangkan mereka, lantaran sebenarnya yang demikian yaitu (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um I/317] Kemudian dia membawakan hadits Ja’far di atas. [Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M] _______ Footnote [1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i mengambarkan berdasarkan kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i diatas tidak mendapatkan pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. [2]. Perkataan ini mirip di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kau paksa budak-budak wanitamu untuk melaksanakan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, lantaran kau hendak mencari laba duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak! wallahu a'lam semoga bermamfaat bagi kita semua amin.
0 Response to "Tahlilan Berasal Dari Agama Hindu"
Post a Comment