Photo by Stanley Dai on Unsplash |
Beberapa kali saya ditanyai soal trik gimana menentukan harga untuk satu tulisan. Ini kaitannya dengan paid post atau Maknakel berbayar di blog atau website. Memang tidak mudah, terlebih tidak ada regulasi yang mengatur itu setrik resmi.
Tapi sehabis dipikir-pikir, memang harus mencurahkan perhatian pada dilema ini. Sebagai blogger, awalnya saya pun ogahan untuk mencari tahu berapa bergotong-royong standar satu tulisan. Karena biasanya saya melaksanakan perundingan eksklusif dengan pemesan berdasar evaluasi sendiri.
Pernah suatu waktu, seorang menghubungi saya lewat email. Ia hendak memesan paid post. Namun terlebih dahulu menanyakan berapa standar yang saya pakai di BLOGOOBLOK. Pada halaman Iklan memang tidak saya cantumkan harga, yang berMakna itu membuka jalur negosiasi.
Tapi ketika itu, saya menjawabnya Rp500.000 untuk satu Maknakel. Yang terjadi kemudian, ia membalas dengan kata-kata yang tak sopan kemudian mengumpat bahwa blog saya belum sekaliber blogger lain. Dan mereka mendapatkan harga yang lebih murah katanya.
Saya hanya sanggup tersenyum membacanya. Miris sekaligus. Karena murahnya para pemesan itu menentukan harga. Saat itu mereka hanya menunjukkan harga Rp50.000 hingga Rp100.000 pertulisan. Wajar sih, alasannya yakni standar media online di Indonesia membayar jurnalisnya juga tidak jauh-jauh dari harga itu.
Saya juga tak mau munafik, awal-awal blog ini ditawari paid post, saya pernah mendapatkan Rp50.000 pertulisan. Itupun dibayarnya dalam bentuk pulsa dan dikirim beberapa hari sehabis goresan pena ditayangkan. Tidak dilema kala itu. Dan saya tidak pernah menyalahkan mereka. Pun dengan yang mengumpat kemudian. Itu hak setiap orang untuk melakukannya.
Tapi apa benar, goresan pena di blog tidak memiliki standar?.
Jika merujuk pada standar yang harus dibentuk oleh pemerintah, rasa-rasanya itu mustahil. Namun harus diketahui bersama, pemerintah melalui Dirjen Pajak bergotong-royong punya hukum yang dikenal dengan sebutan tandar biaya umum (SBU).
Keliru satu yang diatur dalam SBU ketentuan untuk konten online. Rujukannya memang bukan blog setrik spesifik, tapi website setrik umum, baik itu media online hingga website milik pemerintah. Untuk satu halaman word, standar harganya Rp100.000.
Jika kita Menggunakan kertas A4 dengan font 12 pt dengan spasi 1,5 maka satu halaman itu berisi minimal 300 kata. Yang Maknanya, bila merujuk harga SBU per Rp100.000 untuk tiap halaman, maka pemerintah menghargai satu kata yang ditulisan sebesar Rp330.
Katakanlah itu wajar, meski bagi saya itu belum cukup menghargai. Karena satu goresan pena terkadang harus memaksa kita melaksanakan riset. Tapi harga yang ditentukan oleh pemerintah ini masih sedikit manusiawi dibanding harga di beberapa situs lelang yang kebanyakan hanya Rp20 per katanya.
Baca Juga: 5 Tempat Mengirim Tulisan dengan Bayaran Manusiawi
Standar yang diatur pemerintah juga masih terpaut jauh dari standar situs lingkungan Mongabay Indonesia. Mereka menghargai satu katanya Rp750, dengan minimum 500 kata per Maknakel. Yang Maknanya satu goresan pena di Mongabay paling rendah dibayar Rp375.000. Bisa dibayangkan Jika jumlah katanya 1.000 hingga 5.000 kata. Bayarannya bakal semakin besar.
Kembali pada topik standarisasi goresan pena di blog. Saya punya beberapa kenalan yang bekerja di digital agency. Mereka pernah menyampaikan satu goresan pena yang dibentuk di media online bakal ditentukan oleh beberapa faktor. Diantaranya traffic, pageviews dan impressionnya.
Dia memang tidak menyebut berapa standar minumum untuk satu tulisan. Namun, katakanlah merujuk pada kebijakan pemerintah. Maka nilai itu bakal ditambah apabila tarffic, pageviews dan impression media tersebut cukup menjanjikan.
Belum lagi pertimbangan jumlah sebaran di sosial media. Karena hal ini tidak sanggup dipisahkan dari bisnis media online. Harganya sanggup sangat tinggi. Ditambah pula dengan pajak alasannya yakni biasanya media online punya kewajiban bakal itu.
Saya punya kenalan yang bekerja di Keliru satu media online lokal yang mengaku pernah mendapatkan usulan paid post. Padahal trafiknya masih ribuan perhari kala itu. Harganya Rp500.000 dengan satu link dofollow di dalamnya. Itu di tahun 2015. Setelah mempertimbangkan inflasi, harusnya lebih tinggi ketika ini.
Lalu dengan blog?. Saya pikir harusnya tidak jauh berbeda. Apalagi blog ada nilai tambahnya, terkadang niche atau topiknya spesifik sehingga sebarannya bakal eksklusif ke orang yang membutuhkan. Atau pembaca yang memang tujuannya mencari informasi.
Tapi sekali lagi, tidak ada regulasi yang mengaturnya. Entah negara belum mempertimbangkan blogger layak dijadikan profesi, atau alasannya yakni kita belum begitu menghargai hak cipta. Bitrik soal hak cipta bergotong-royong bakal menambah daftar panjang setiap karya harusnya lebih layak menerima bayaran.
Baca Juga: Caranya Mendapatkan Uang dengan Menulis di UC News
Pada setiap moment memperingati Hari Blogger Nasional saya juga belum pernah mendengar topik yang spesifik membahas standar harga paid post dan dilema hak cipta. Entah alasannya yakni memang saya belum dengar karna tidak pernah diundang dan terlibat dalam perayaan itu, atau saya yang kudet. Entahlah.
Sebenarnya, pertimbangan menentukan harga satu Maknakel di blog juga harus dilihat dari prosesnya. Apakah pemesan yang membuat Maknakelnya atau semuanya dilakukan si pemilik blog. Karena Jika dilakukan oleh pemilik blog bakal menyita waktu. Ini juga menentukan harga seharunya.
Yang patut disayangkan pula, di Indonesia ini memang banyak blogger. Tapi tidak semua mengerti gimana menyebarkan blog dengan baik. Bahkan mengisi konten dalam blognya pun lebih sering copy paste goresan pena orang lain. Yang beginianlah bergotong-royong yang merusak harga pasaran.
Memang tidak sanggup eksklusif profesional, namun setidaknya jangan mengambil goresan pena orang lain semoga blognya disebut selalu update. Pengiklan itupun bukan orang kolot yang hanya melihat dari jumlah tulisan. Tapi apakah pemilik blognya memang layak dibayar atau tidak.
Saya pribadi bergotong-royong membangun blog ini bukan dengan tujuan komersil, namun juga tidak menolaknya. Tapi saya setrik tegas menolak pengiklan yang ingin mempromosikan produk-produk yang merusak moral, ibarat judi online dan konten berbau seks dan kekerasan.
Meski blog ini sederhana, saya tetap berupaya membangunnya setrik profesional. Bahkan dengan urusan pengiklan pun saya berupaya berkomunikasi dengan bahasa yang layak. Mereka juga terkadang meminta invoice yang tentu juga saya sediakan.
Enaknya punya blog sendiri, ya kita bebas menentukan harga. Saya tidak ragu melaksanakan itu alasannya yakni saya percaya, karya saya bukan karya murahan. Meski blog ini sederhana, setidaknya punya harga diri. Kalian pun sanggup melaksanakan itu. Mungkin juga baiknya sama-sama memikirkan standarisasi harga goresan pena paid post di blog. Atau soal hak cipta yang selalu saja dipandang sebelah mata. Dipikirnya menulis itu bukan hak cipta.
Masih banyak hal yang ingin saya sampaikan dalam goresan pena ini, namun jumlah kata dalam goresan pena ini sudah mencapai 1000. Maka saya menentukan mengakhirinya saja. Saya harusnya dibayar dengan harga yang manusiawi. Katakanlah Menggunakan standar pemerintah. Maka saya sanggup bayaran Rp330 dikali 1.000 kata, Rp330.000. Lumayanlah buat bersenang-senang.
Salam Kreasi!
0 Response to "Menentukan Standar Harga Sebuah Tulisan"
Post a Comment