Kaum Salafi yang digelari Wahhabi Dituduh Memiliki Aqidah Tajsim Dan Tasybih
Tajsim dan tasybih yang merupakan kekufuran yaitu bila kita menyampaikan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai tangan kita, wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai wajah kita, penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya bila kita menyampaikan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai ilmu kita dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai kekuatan kita. (Lihat Syarah al-‘Aqidah ath-Thahiwiyah (hlm.53), Dar at-Ta’arud (4/145), dan Maqalat at-Tasybih wa Mauqif)
Ishaq bin Ibrahim berkata: Hanyalah merupakan tasybih (penyerapan) bila ia berkata ‘tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai tangan (manusia) atau indera pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai indera pendengaran (manusia)’...Adapun bila ia berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Tangan, pendengaran, dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ia tidak menyampaikan bagaimananya serta tidak menyampaikan bergotong-royong indera pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai indera pendengaran (makhluk), maka hal ini bukanlah tasybih. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat"
Al-Imam Ahmad berkata, ”Barangsiapa yang berkata ‘Penglihatan Allah menyerupai penglihatanku dan tangan Allah menyerupai tanganku, serta kaki Allah menyerupai kakiku’, maka ia telah mentasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya”
Karenanya menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat ilmu, qudrah, penglihatan, pendengaran, berbicara akan tetapi tidak sama dengan ilmu manusia, qudrah manusia, penglihatan dan pembicaraan manusia; maka demikian ini bukan tasybih atau tajsim, bahkan ini yaitu tauhid kepada Allah. Yaitu memutuskan sifat-sifat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi sifat-sifat tersebut maha tinggi dan tidak akan sama dengan sifat-sifat makhluk.
Allah berfirman:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (QS. asy-Syura: 11)
Perhatikanlah dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, sehingga penglihatan dan indera pendengaran Allah tidak menyerupai penglihatan dan indera pendengaran insan atau makhluk.
Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah perihal sifat-sifat Allah dibangun di atas mensifati Allah sesuai dengan apa yang Allah sifatkan diri-Nya dalam al-Qur’an atau melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya tanpa adanya (1)tahrif (2)ta’thil (3)takyif dan (4)tamtsil. (Lihat al-Aqidah al-Washithiyyah, syarah Khalil Harras, halm. 47-48)
‪#‎tahrif‬ adalah merubah atau mengganti, secara istilah tahrif yaitu merubah lafal-lafal nash yang berkaitan dengan sifat Allah atau merubah makna dari lafal-lafal tersebut.
‪#‎ta‬’thil yaitu menolak sifat-sifat Allah yang tiba dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik menolak sebagian sifat (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Asya’irah dan al-Maturidiyah) ataupun menolak seluruh sifat Allah (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum al-Jahmiyah dan al-Mu’tazilah).
‪#‎takyif‬ adalah membagaimanakan sifat-sifat Allah, menyerupai menyatakan bahwa sifat Allah begini dan begitu tanpa dalil, dan tanpa menyamakan dengan makhluk.
‪#‎tamtsil‬ adalah mengvisualkan sifat Allah dengan menyamakan sifat Allah menyerupai sifat makhluk, menyerupai menyatakan bahwa tangan Allah sama menyerupai tangan manusia, turunnya Allah sama menyerupai turunnya manusia, penglihatan Allah menyerupai penglihatan manusia, dan seterusnya. (Lihat al-Qawa’id al-Mutsla, syarh al-Mujala,hlm.202)
Aqidah inilah yang disepakati oleh para Imam Salaf umat ini. Ibnu Abdil-Bar rahimahullah (salah seorang ulama besar madzhab Maliki, wafat tahun 463 H) telah menukil Ijma’ (konsensus) Ahlus-Sunnah terkait aqidah ini. Beliau rahimahullah berkata: “Ahlus-Sunnah Ijma’ (berkonsensus) dalam memutuskan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan setuju untuk beriman kepada sifat-sifat tersebut. Adapun ahlul-bid’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, demikian juga kaum Khawarij seluruhnya mengingkari sifat-sifat Allah pada makna hakikatnya, dan mereka menyangka bergotong-royong barang siapa yang memutuskan sifat-sifat tersebut maka ia yaitu musyabbih. Mereka ini di sisi para penetap sifat-sifat Allah yaitu para penolak Allah yang disembah. Dan al-haq (kebenaran) pada apa yang dikatakan oleh mereka yang berbicara sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, dan mereka yaitu para imam Jama’ah, al-hamdulillah”. (At-Tamhid, 7/145)
Diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullah bin al-Mubarak, bergotong-royong mereka berkata perihal hadits sifat-sifat Allah: “Tetapkan hadits-hadits tersebut tanpa menggambarkannya”. Dan demikianlah perkataan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka berkata bergotong-royong hal ini yaitu tasybih.
Terdapat lebih dari satu kawasan dalam al-Qur’an bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan perihal tangan, pendengaran, dan penglihatan. Kaum Jahmiyah mentakwil ayat-ayat ini dan menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsir para mahir ilmu. Jahmiyah berkata:”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membuat Adam dengan tangan-Nya”, dan Jahmiyah berkata,”Makna tangan di sini yaitu kekuatan”
‪#‎Menetapkan‬ sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana lahiriahnya tanpa mentasybih dengan sifat-sifat makhluk merupakan aqidah imam empat madzhab.
• Imam Abu Hanifah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam al-Qur’an. Apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an berupa penyebutan perihal wajah, tangan, dan jiwa maka itu yaitu sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa menggambarkannya. Dan tidak dikatakan sesungguhnya tangannya yaitu qudrah (kemampuan)-Nya atau nikmat-Nya, alasannya yaitu hal ini menolak sifat, dan ini yaitu perkataan para penolak taqdir dan kaum Mu’tazilah; akan tetapi tangan-Nya yaitu sifat-Nya tanpa membagaimanakannya. Kemarahan-Nya dan keridhaan-Nya yaitu dua sifat yang termasuk sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menggambarkannya”. (Lihat Syarh al-Fiqh al-Akbar, karya Syaikh Abu al-Muntah Ahmad bin Muhammad al-Hanafi (halm. 120-122), dan juga asy-Syarh al-Muyassar li al-Fiqh al-Akbar, karya al-Khamis (hlm.42))
• Imam Malik rahimahullah tatkala ditanya perihal bagaimanakah istiwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia berkata: “Istawa diketahui (maknanya), dan bagaimananya tidak bisa dipikirkan, dan mengimaninya yaitu wajib, serta bertanya perihal bagaimananya yaitu bid’ah”. (Lihat al-Atsar al-Masyhur ‘an al-Imam Malik fi Sifat al-Istiwa, karya Syaikh Abdur-Razzaq al-‘Abbad, hlm.35-51)
• Imam Syafii, tatkala ditanya perihal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang diimaninya, berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya; dihentikan seorang pun dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah tegak hujjah kepadanya untuk menolaknya alasannya yaitu al-Qur’an telah menurunkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, dan telah sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal nama-nama dan sifat-sifat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh para perawi yang adil (tsiqah/terpercaya). Jika seseorang menyelisihinya sesudah tetapnya hujjah kepadanya maka ia kafir; adapun sebelum tegaknya hujjah maka ia menerima udzur alasannya yaitu kejahilan, alasannya yaitu ilmu perihal hal ini (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa diketahui dengan akal, atau dengan pemikiran, dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang jahil (tidak tahu), kecuali sesudah hingga kabar perihal hal tersebut kepadanya. Kami memutuskan sifat-sifat ini dan kami menolak tasybih dari sifat-sifat tersebut sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolak tasybih dari diri-Nya. (Kitab Itsbat Sifat all-‘Uluw, karya Ibnu Qudamah (hlm. 181) dan juga dalam kitab beliau, Dzam at-Ta’wil, hlm.21)
• Ali bin Isa berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) perihal hadits-hadits yang diriwayatkan ‘sesungguhnya Allah Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia’, dan ‘sesungguhnya Allah Ta’ala dilihat’, dan ‘sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal ini”, maka Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan kami mengetahui bergotong-royong apa yang tiba dari Rasulullah yaitu benar bila tiba dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan Rasul-Nya perihal Allah Subhanahu wa Ta’ala...Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami menyampaikan sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak melampuinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya alasannya yaitu celaan”.
Demikianlah aqidah empat Imam madzhab Ahlus-Sunnah, bergotong-royong mereka memutuskan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih, akan tetapi mereka menafikan tasybih dan penyamaan dengan sifat-sifat makhluk. Mereka memutuskan sifat tangan Allah Ta’ala akan tetapi tidak menyerupai tangan makhluk; demikian pula wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana penglihatan dan indera pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyerupai penglihatan dan indera pendengaran makhluk.
Meskipun Ahlus-Sunnah memutuskan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka menyerahkan hakikat bagaimana sifat-sifat tersebut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Karena logika dan ilmu insan tidak akan bisa menangkap bagaimana hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Ilmu mereka tidak sanggup meliputi-Nya (QS. Thaha: 110)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Madzhab Salaf –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka- yaitu memutuskan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperlakukan sifat-sifat tersebut sebagaimana zhahirnya (lahiriyahnya) dan menafikan bagaimananya hakikat sifat-sifat tersebut. Karena pembicaraan perihal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu cabang dari pembicaraan perihal Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan penetapan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu memutuskan adanya wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan memutuskan bagaimananya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka demikian pula penetapan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah madzhab para Salaf seluruhnya”. (Majmu’ al-Fatawa,4/6-7)
Hal ini berbeda dengan musyabbihah yang menggambarkannya sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk.
Kaum Mu’atthilah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada di antara mereka yang menolak sebagian sifat, menyerupai kaum Asya’irah dan Maturidiah. Juga ada di antara mereka yang menolak seluruh sifat, menyerupai kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Mereka menganggap penetapan setiap sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala berkonsekwensi telah mentasybih (menyerupakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluknya. Padahal menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk sama-sama mempunyai indera pendengaran dan penglihatan bukanlah tasybih atau tajsim yang merupakan kekufuran. Hanya saja yang merupakan kekufuran, ialah bila kita menyatakan bahwa penglihatan dan indera pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupai penglihatan dan indera pendengaran insan –sebagaimana telah kemudian penjelasannya.
Suka · Komentari ·