Wanita Hamil dan Menyusui Qadha Puasa atau Bayar Fidyah?
Merespon beberapa pertanyaan yang masuk ke inbox saya di facebook, maka saya berusaha menjawab singkat dilema ini dengan memaparkan pendapat para ulama dan mana yang saya pilih dengan alasan tarjih tentunya.
Wanita hamil belum tentu menyusui, contohnya sesudah dia hamil anaknya meninggal dunia. Maka hanya berlaku dilema kehamilan pada dirinya. Menyusui tak berarti gres saja melahirkan, sebab ada saja perempuan yang air susunya banyak dan bayinya sudah besar, tapi dia menyusui bayi orang lain. Yang menyerupai ini juga masuk dalam cakupan bahasan di atas.
Para ulama berbeda pendapat dalam dilema ini, secara garis besar ada empat pandangan:
1. Keduanya harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini yaitu pendapat madzhab Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. (Lihat: Al-Hidayah syarh Al-Bidayah, juz 1 hal. 128, Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal. 506).
2. Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini yaitu pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa’id bin Jubair, Qatadah
3. Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja maka dia harus mengqadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya bila berpuasa maka dia harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini yaitu pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali.
4. Wanita hamil hanya boleh mengqadha dan tidak membayar fidyah, sedangkan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini yaitu pendapat madzhab Maliki.
Dalil-dalil:
Dalil pendapat pertama:
Dalil pendapat pertama yaitu meng-qiyas-kan perempuan hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana terang dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185.
Dalil pendapat kedua:
Dalil pendapat kedua yaitu anutan dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa anutan sahabat itu menjadi salah satu dasar aturan bila tidak ada nash yang sharih.
Riwayat Ibnu Abbas bisa ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, ”Bila seorang perempuan hamil khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADHA.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim”.).
Riwayat lain dari Ibnu Abbas yaitu ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, ”Kamu ini sama dengan orang yang sukar melakukan puasa, maka kau boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kau tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu.” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759).
Adapun riwayat Ibnu Umar sanggup diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, ”Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, perempuan hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.”
Dan banyak lagi riwayat dari kedua sahabat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil juz 4, hal. 19-20.
Dalil pendapat ketiga:
Madzhab Syafi’i dan Hanbali sebetulnya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyas-kan perempuan hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini yaitu janin atau bayi yang disusui yang bila mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah karena batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain.
Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka sebetulnya mereka menggabung qiyas antara perempuan hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang renta yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh.
Dalil pendapat keempat:
Pendapat yang membedakan antara perempuan hamil dan menyusui beralasan bahwa perempuan hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafi’i dan Hanbali.
Tarjih:
Berhubung tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam dilema ini maka membuka peluang untuk berbeda pendapat. Secara analogi mungkin pendapat Hanafi lebih kuat, sebab memang banyak kemiripan antara hamil dan menyusui dengan orang sakit dengan impian sembuh dibanding dengan orang renta yang tak bisa puasa atau orang sakit yang tak ada impian sembuh.
Sedangkan madzhab ketiga rasanya dalilnya agak dipaksakan dan membingungkan.
Tapi bagi yang menganggap bahwa mengikuti anutan sahabat Nabi SAW lebih utama daripada qiyas - dan ini sebetulnya yaitu pendapat madzhab Hanbali dalam ushul fikih tapi anehnya dalam dilema ini mereka tidak mengamalkannya – maka lebih baik mengikuti anutan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Sebab, meski tidak ma’shum tapi mereka berguru eksklusif kepada Rasulullah SAW dan lebih mengerti sunnah dibanding para imam madzhab itu.
Inilah yang menciptakan saya –sampai ketika ini- cenderung pada pendapat kedua di atas yaitu mengikuti anutan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa perempuan hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah dan tidak perlu meng-qadha. Lagi pula ini terang lebih ringan bagi yang bersangkutan. Wallahu a’lam.
Bagaimana cara membayar fidyah?
Dalam beberapa riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa fidyah puasa Ramadhan dibayarkan dengan satu mudd (segenggam penuh tangan orang dewasa) burr (gandum terbaik). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abbas yaitu setengah sha’ = dua mudd gandum. Berhubung tak ada nash juga dalam dilema ini maka baiknya disamakan saja dengan zakat fitrah baik barang maupun uangnya. Sebaiknya dibayarkan kepada orang miskin atau orang tak mampu. Boleh kepada satu orang untuk semua hari atau beberapa orang.
Dalam sebuah riwayat dari Ayyub bahwa Anas bin Malik rahimahullah ketika sudah renta dan tak bisa puasa dia membayar dengan cara mengundang 30 orang miskin untuk satu kali makan di rumahnya, dan itu yaitu pembayaran untuk 30 hari tidak puasa. (Lihat riwayatnya dalam Sunan Ad-Daraquthni, no. 2415).
Silahkan pilih mana yang berdasarkan anda lebih gampang. Semoga bermanfaat.
1. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (Al-Hafid), Dar Al-Jail Beirut, cet I 1989 M.
2. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kegiatan maktabah syamilah.
3. Fiqh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, penerbit: Al-Fath lil I’lam Al-’Arabi, cet II, 1999 M.
4. Al-Hidayah syarh Bidayatul Mubtadi, Ali bin Abu Bakr Al-Marghinani, Dar Al-Fikr Beirut tanpa tahun.
5. Irwa` Al-Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami, cet. 1985.
6. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kementerian Urusan Waqaf Kuait, kegiatan maktabah syamilah.
7. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, kegiatan Maktabah Syamilah edisi II.
8. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, tahqiq: Habiburrahman Al-A’zhami, Program maktabah syamilah edisi II.
9. Sunan Ad-Daraquthni, kegiatan maktabah syamilah edisi II.
10. Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ibnu Al-Jauzi, cet I 1422 H.
11. Tafsir Ath-Thabari, tahqiq Syekh Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah Ar-Risalah, cet I 1420 H.
Bogor, Minggu tanggal 17 Mei 2009, jam 14.00 – 14.55.
Anshari Taslim
sumber : https://www.facebook.com/notes/99618956418/
Wanita hamil belum tentu menyusui, contohnya sesudah dia hamil anaknya meninggal dunia. Maka hanya berlaku dilema kehamilan pada dirinya. Menyusui tak berarti gres saja melahirkan, sebab ada saja perempuan yang air susunya banyak dan bayinya sudah besar, tapi dia menyusui bayi orang lain. Yang menyerupai ini juga masuk dalam cakupan bahasan di atas.
Para ulama berbeda pendapat dalam dilema ini, secara garis besar ada empat pandangan:
1. Keduanya harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini yaitu pendapat madzhab Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. (Lihat: Al-Hidayah syarh Al-Bidayah, juz 1 hal. 128, Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal. 506).
2. Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini yaitu pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa’id bin Jubair, Qatadah
3. Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja maka dia harus mengqadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya bila berpuasa maka dia harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini yaitu pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali.
4. Wanita hamil hanya boleh mengqadha dan tidak membayar fidyah, sedangkan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini yaitu pendapat madzhab Maliki.
Dalil-dalil:
Dalil pendapat pertama:
Dalil pendapat pertama yaitu meng-qiyas-kan perempuan hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana terang dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185.
Dalil pendapat kedua:
Dalil pendapat kedua yaitu anutan dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa anutan sahabat itu menjadi salah satu dasar aturan bila tidak ada nash yang sharih.
Riwayat Ibnu Abbas bisa ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, ”Bila seorang perempuan hamil khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADHA.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim”.).
Riwayat lain dari Ibnu Abbas yaitu ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, ”Kamu ini sama dengan orang yang sukar melakukan puasa, maka kau boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kau tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu.” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759).
Adapun riwayat Ibnu Umar sanggup diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, ”Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, perempuan hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.”
Dan banyak lagi riwayat dari kedua sahabat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil juz 4, hal. 19-20.
Dalil pendapat ketiga:
Madzhab Syafi’i dan Hanbali sebetulnya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyas-kan perempuan hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini yaitu janin atau bayi yang disusui yang bila mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah karena batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain.
Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka sebetulnya mereka menggabung qiyas antara perempuan hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang renta yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh.
Dalil pendapat keempat:
Pendapat yang membedakan antara perempuan hamil dan menyusui beralasan bahwa perempuan hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafi’i dan Hanbali.
Tarjih:
Berhubung tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam dilema ini maka membuka peluang untuk berbeda pendapat. Secara analogi mungkin pendapat Hanafi lebih kuat, sebab memang banyak kemiripan antara hamil dan menyusui dengan orang sakit dengan impian sembuh dibanding dengan orang renta yang tak bisa puasa atau orang sakit yang tak ada impian sembuh.
Sedangkan madzhab ketiga rasanya dalilnya agak dipaksakan dan membingungkan.
Tapi bagi yang menganggap bahwa mengikuti anutan sahabat Nabi SAW lebih utama daripada qiyas - dan ini sebetulnya yaitu pendapat madzhab Hanbali dalam ushul fikih tapi anehnya dalam dilema ini mereka tidak mengamalkannya – maka lebih baik mengikuti anutan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Sebab, meski tidak ma’shum tapi mereka berguru eksklusif kepada Rasulullah SAW dan lebih mengerti sunnah dibanding para imam madzhab itu.
Inilah yang menciptakan saya –sampai ketika ini- cenderung pada pendapat kedua di atas yaitu mengikuti anutan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa perempuan hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah dan tidak perlu meng-qadha. Lagi pula ini terang lebih ringan bagi yang bersangkutan. Wallahu a’lam.
Bagaimana cara membayar fidyah?
Dalam beberapa riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa fidyah puasa Ramadhan dibayarkan dengan satu mudd (segenggam penuh tangan orang dewasa) burr (gandum terbaik). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abbas yaitu setengah sha’ = dua mudd gandum. Berhubung tak ada nash juga dalam dilema ini maka baiknya disamakan saja dengan zakat fitrah baik barang maupun uangnya. Sebaiknya dibayarkan kepada orang miskin atau orang tak mampu. Boleh kepada satu orang untuk semua hari atau beberapa orang.
Dalam sebuah riwayat dari Ayyub bahwa Anas bin Malik rahimahullah ketika sudah renta dan tak bisa puasa dia membayar dengan cara mengundang 30 orang miskin untuk satu kali makan di rumahnya, dan itu yaitu pembayaran untuk 30 hari tidak puasa. (Lihat riwayatnya dalam Sunan Ad-Daraquthni, no. 2415).
Silahkan pilih mana yang berdasarkan anda lebih gampang. Semoga bermanfaat.
وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم
Referensi:1. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (Al-Hafid), Dar Al-Jail Beirut, cet I 1989 M.
2. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kegiatan maktabah syamilah.
3. Fiqh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, penerbit: Al-Fath lil I’lam Al-’Arabi, cet II, 1999 M.
4. Al-Hidayah syarh Bidayatul Mubtadi, Ali bin Abu Bakr Al-Marghinani, Dar Al-Fikr Beirut tanpa tahun.
5. Irwa` Al-Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami, cet. 1985.
6. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kementerian Urusan Waqaf Kuait, kegiatan maktabah syamilah.
7. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, kegiatan Maktabah Syamilah edisi II.
8. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, tahqiq: Habiburrahman Al-A’zhami, Program maktabah syamilah edisi II.
9. Sunan Ad-Daraquthni, kegiatan maktabah syamilah edisi II.
10. Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ibnu Al-Jauzi, cet I 1422 H.
11. Tafsir Ath-Thabari, tahqiq Syekh Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah Ar-Risalah, cet I 1420 H.
Bogor, Minggu tanggal 17 Mei 2009, jam 14.00 – 14.55.
Anshari Taslim
sumber : https://www.facebook.com/notes/99618956418/
0 Response to "Wanita Hamil Dan Menyusui Qadha Puasa Atau Bayar Fidyah?"
Post a Comment