Kisah Bapak Yang Sabar Menunggu Dipadang Pasir

SABAR ADALAH AMALAN YG SANGAT MUDAH DIUCAPKAN AKAN TETAPI SANGAT SUSAH DIAMALKAN, MAKA ITU ALLAH SWT BALAS AMALAN SABAR TANPA HITUNG-HITUNGAN.
Kisah Nyata menambahkan 2 foto baru — bersama ‎ميفتحول جنة‎.
Kisah: Kesabaran Tanpa batas
Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.
=====
Abu Ibrahim bercerita:

Suatu ketika, saya jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak sanggup pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang renta yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang…
Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍمِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً ..الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍمِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. ..
Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku heran mendengar ucapannya, kemudian kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua tangannya buntung… matanya buta… dan ia tidak mempunyai apa-apa bagi dirinya…
Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia mempunyai anak yang mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun…
Aku beranjak mendekatinya, dan ia mencicipi kehadiranku… ia kemudian bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… saya seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kau sendiri siapa?” tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di daerah ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? lanjutku.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” jawabnya.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” ucapku.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi saya punya satu seruan kepadamu, maukah kau mengabulkannya?” tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, gres saya akan mengabulkan permintaanmu” kataku.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku nalar sehat, yang dengannya saya sanggup memahami dan berfikir…?
“Betul” jawabku. kemudian katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.
“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya saya sanggup mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.
“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” katanya.
“Banyak juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb”, katanya.
“Bukankah Allah memberiku ekspresi yang dengannya saya sanggup berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak sanggup bicara?” tanyanya.
“Wah, banyak itu” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.
“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. kemudian katanya: “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” katanya.
Pak renta terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… dan saya semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap proteksi Allah…
Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak hingga seperempat dari petaka beliau… mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ tubuhnya… tapi kalau dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap tanggapan Allah atas petaka yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…
Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga alhasil khayalanku terputus dikala pak renta mengatakan:
“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kau mengabulkannya?”
“Iya.. apa permintaanmu?” kataku.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan saya dan mengurusi segala keperluanku… semenjak tadi malam ia keluar mencari kuliner untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diperlukan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kau tahu sendiri keadaanku yang renta renta dan buta, yang tidak sanggup mencarinya…”
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka saya berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… saya tak tahu harus memulai dari arah mana…
Namun tatkala saya berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar perihal si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu… maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan tubuh terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, kemudian meninggalkan sisanya untuk burung-burung…
Aku lebih murung memikirkan nasib pak renta dari pada nasib si bocah…
Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… saya galau harus menyampaikan apa dan mulai dari mana?
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam… maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan ibarat dikala kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”
Namun kataku: “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah alasannya yaitu saya mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha illallaaah…” dan saya berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga saya mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya… hingga alhasil ia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, kemudian kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya… kemudian saya keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…
Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya mereka yaitu para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka tiba menghampiriku…
Kukatakan: “Maukah kalian mendapatkan pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
“Iya..” jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah yaitu salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung aneka macam petaka hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian saya kembali bersama mereka ke Madinah…
Malamnya saya bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia mengenakan gamis putih dengan tubuh yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka saya bertanya kepadanya:
“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu ibarat yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )
Salam sejahtera atasmu sebagai tanggapan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik daerah kembali
=======
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.
sumber :
 https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1417523778568923&id=100009339443853

0 Response to "Kisah Bapak Yang Sabar Menunggu Dipadang Pasir"

Post a Comment