Pengikut Imam Syafi'i Meninggalkan Aliran Madzhab Imam Syafi’I

‘Abdil Muhsin Firanda Andirja, M.A.
Berikut ini merupakan rekaman kajian agama Islam tematik bersama Ustadz Firanda Andirja, yang disampaikan pada Senin malam, 22 Rajab 1435 / 22 Mei 2014 di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Cileungsi, Bogor. Kajian ini diadakan selama 3 hari berturut-turut dari tanggal 20-22 Mei 2014, dengan pembahasan menarik seputar “Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan“, dan pada kajian kali ini dia akan menjelaskan wacana beberapa pedoman Imam Syafi’i yang banyak ditinggalkan oleh orang-orang yang mengaku mengikuti beliau, yaitu “Larangan Pengagungan Kuburan, Bidahnya Tahlilan, dan Seterusnya“.
Ringkasan Ceramah Agama Islam: Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan: Larangan Pengagungan Kuburan, Bidahnya Tahlilan, dan Seterusnya
Larangan Pengagungan terhadap Kuburan
Sesungguhnya ibadah itu dibangun di atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang dipahami oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tatkala para pemakmur kuburan yang mencari barokah di sana mengetahui bergotong-royong perbuatan mereka menyelisihi dan bertentangan dengan terlalu banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka merekapun berusaha untuk berdalil dengan perkataan ulama yang setuju dengan aqidah mereka.
Diantara perkataan para ulama yang dijadikan dalil untuk menguatkan kebiasaan mereka beribadah di kuburan yaitu perkataan Al-Baidhawi rahimahullah.
Padahal perkataan Al-Baidhawi ini menyelisihi akad para ulama besar Madzhab As-Syafi’iyah. Dan para pemakmur kuburan di tanah air kita secara umum mengaku bermadzhab As-Syafiiyah. Akan tetapi tatkala ada perkataan seorang ulama yang sesuai dengan keyakinan mereka maka merekapun ramai-ramai memegang teguh perkataan tersebut dan meninggalkan hadits-hadits yang begitu banyak yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka…serta meninggalkan akad perkataan para ulama besar Asy-Syafiiyah.
An-Nawawi juga telah menukil akad para ulama wacana dilarangnya mengusap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mencari barakah. Beliau rahimahullah berkata :
“Tidak boleh thawaf di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) yaitu ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah setuju akan hal ini.
Di antara perkataan ulama Madzhab Syafi’i yang melarang pengagungan terhadap kuburan yaitu Imam An-Nawawi rahimahullah, dia berkata :
“Dan telah setuju teks-teks dari Asy-Syafi’i dan juga Ash-haab (*para ulama besar Madzhab Syafi’iah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayit masyhur dengan kesholehan atau tidak alasannya yaitu keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Asy-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayit orang sholeh ataukah tidak”. Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farani rahimhullah : Dan tidak boleh shalat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barakah atau alasannya yaitu pengagungan, alasannya yaitu hadits-hadits Nabi, Wallahu A’lam“.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Tahlilan yaitu Bid’ah Menurut Madzhab Syafi’i
Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, “Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?”.
Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan yaitu orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah “Tahlilan” di sini yaitu program yang dikenal oleh masyarakat yaitu program kumpul-kumpul di rumah final hidup sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit supaya dirahmati oleh Allah.
Lebih gila lagi jikalau ada yang melarang tahlilan pribadi dikatakan “Dasar Wahabi“..!!!
Seakan-akan pelarangan melaksanakan program tahlilan yaitu bid’ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?
Sementara para pelaku program tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab Syafi’i !!!. Ternyata para ulama besar dari Madzhab Syafi’iyah telah mengingkari program tahlilan, dan menganggap program tersebut sebagai bid’ah yang mungkar, atau minimal bid’ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi’yah menyerupai Imam Syafi’i dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya yaitu wahabi??!!
Ijma’ Ulama bahwa Nabi, Para Sahabat, dan Para Imam Madzhab tidak Pernah Tahlilan
Tentu sangat tidak diragukan bahwa program tahlilan –sebagaimana program maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi’in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).
Akan tetapi anehnya kini program tahlilan pada kenyataannya menyerupai merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jikalau seseorang meninggal kemudian tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, “Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, menyerupai nguburi kucing aja!!!”.
Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat dia yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak dia (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu ‘anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi menyerupai menguburkan kucing??.
Istri dia yang sangat dia cintai Khadijah radhiallahu ‘anha juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak dia tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak dia tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat dia yang dia cintai meninggal di masa hidup beliau, menyerupai paman dia Hamzah bin Abdil Muthhalib, sepupu dia Ja’far bin Abi Thalib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat dia yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula jikalau kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa’ ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melaksanakan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.
Nah lantas apakah program tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari’at tatkala itu, lantas kini berubah statusnya menjadi syari’at yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jikalau ditinggalkan maka timbulah celaan??!!
Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi’i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Maka kasus apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan kasus agama maka pada hari ini juga bukan merupakan kasus agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Bagaimana sanggup suatu kasus yang jangankan merupakan kasus agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas kini menjadi bab dari agama!!!
Argumen Madzhab Syafi’i yang Menunjukkan Makruhnya/Bid’ahnya Acara Tahlilan
Banyak hukum-hukum Madzhab Syafi’i yang menyampaikan akan makruhnya/bid’ahnya program tahlilan. Daintaranya:
Pendapat Madzhab Syafi’i yang mu’tamad (yang menjadi patokan) yaitu dimakruhkan berta’ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari final hidup mayit. Tentunya hal ini terperinci bertentangan dengan program tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Para sahabat kami (para fuqahaa madzhab syafi’i) menyampaikan : “Dan makruh ta’ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta’ziah yaitu untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang mayoritas hati sudah damai setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma’ruf….” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)
Telah kemudian penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan saya menyukai jikalau para tetangga mayit atau para kerabatnya untuk menciptakan makanan bagi keluarga mayit yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari final hidup sang mayat. Karena hal ini yaitu sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan setelah kami, alasannya yaitu tatkala tiba kabar wacana final hidup Ja’far maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, dikarenakan telah tiba kepada mereka kasus yang menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278)
Bagaimana klarifikasi selengkapnya mengenai hal ini? Silakan download kajian ini dan simak klarifikasi dari Ustadz Firanda Andirja, M.A. mengenai hal ini. Semoga bermanfaat.
Download Ceramah Agama: Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja – Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan: Larangan Pengagungan Kuburan, Bidahnya Tahlilan, dan Seterusnya

0 Response to "Pengikut Imam Syafi'i Meninggalkan Aliran Madzhab Imam Syafi’I"

Post a Comment