Sebagai agama yang dianut dominan penduduk negeri ini sejauh mana Islam telah mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita. Jangan-jangan menyerupai yang disampaikan Fethullah Gülen dalam bukunya bahwa kita sudah meninggalkan fatwa agama alasannya kita meyakini bahwa kenikmatan dunia hanya bisa diraih dengan menanggalkan agama. Na’udzubillah. Kita berharap masyarakat muslim bisa menyadari bahwa sesungguhnya fatwa Islam sudah lebih dari cukup sebagai landasan dan pijakan berbangsa dan bernegara. Tidak perlu melirik ideologi lain, tidak perlu termakan dengan faham lain, dan tidak perlu larut dalam rayuan dogma-dogma lain. Cukuplah Islam, dan peganglah ia hingga janjkematian menjempu
Harmoni antara makhluk dan banyak sekali fenomena yang terjadi di jagad raya yaitu sebuah keniscayaan dan terjadi begitu saja, sedangkan hukum yang mengatur insan terjadi menurut kehendak bebas yang mereka miliki. Untuk yang terakhir, sumber terutamanya yaitu rasa takut kepada Allah. Keteraturan yaitu sebuah istilah yang merangkum ketenteraman, ketenangan, harmoni, dan harapan akan masa depan yang cerah. Ketenteraman dan harmoni tentu tidak sanggup dinantikan dari kondisi kacau (chaos), sebagaimana halnya masa depan yang cerah juga mustahil terwujud dari anarki.
Pada mulanya, keteraturan terkesan sebagai produk dari kehendak dan pemikiran insan yang bangkit sendiri. Sebab pikiran memang tidak berada di bawah kendali jiwa dan tidak pernah bisa menetapkan hubungan dengan kejahatan. Bahkan banyak naluri baik yang terdapat di dalam pikiran bermetamorfosis ratapan yang kemudian menyimpang menjadi kekacauan.
Sejak jagad raya tercipta, semua makhluk selain insan selalu berada dalam keteraturan. Harmoni dalam gerakan molekul, keserasian dalam penampilan bunga, keseimbangan dan keserasian antara semua makhluk baik yang hidup maupun yang mati, peredaran bintang-bintang di langit yang menuturkan puisi untuk kita, berbagai makna yang disampaikan oleh bunga, dedauan, dan ranting-dahan pepohonan... Semuanya bergerak dalam keteraturan luar biasa yang melingkupi segalanya.
Ya. Jika nurani insan mau merenungi "kitab penciptaan" barang sejenak, pastilah ia akan sanggup melihat keteraturan dan harmoni tersebar di seluruh semesta. Semuanya akan terlihat indah dengan kandungan makna yang dahsyat. Untuk sanggup melaksanakan itu, kita tidak perlu mempunyai tingkat sensitifitas yang tinggi, alasannya hati insan –termasuk yang mempunyai tingkat kepekaan yang rendah- pasti bisa mencicipi setiap warna, rupa, suara, dan keindahan syair atau lagu dengan warna tak terhingga yang terkandung dalam gelegar petir menyerupai yang juga terkandung di dalam kicauan burung; dalam penampilan bunga yang indah menyerupai yang juga terkandung dalam keindahan langit malam. Tapi orang-orang yang berada di barisan terdepan di antara mereka yang melangkah ke depan yaitu mereka yang memahami fisika, kimia, dan biologi, dan astrofisika kehidupan.
Segala sesuatu berkata: keteraturan... harmoni...
Segala sesuatu melantunkan makna spiritual yang terkandung di dalam segenap entitas. Segala sesuatu: dari kegundahan ombak samudera hingga nyanyian sendu padang pasir yang tak pernah henti memetik dawai hati kita; dari keheningan lembah hingga puncak ketinggian gunung-gunung; dari kedalaman maritim yang sunyi hingga kemeriahan langit malam.
Jika segala sesuatu begitu teratur dan harmonis, maka bagaimanakah gotong royong ketidakteraturan –yang kita sebut "kekacauan"- bisa terjadi di muka bumi?
Dunia memang mengenal kekacauan dan kesemrawutan dari tingkah-polah insan yang akalnya tidak mau tunduk kepada Allah, membiarkan hasrat mereka tunduk pada kejahatan, dan tidak pernah mengisi hati mereka dengan kebaikan.
Manusia yaitu satu jenis makhluk dengan pelbagai ambisi yang tak terbatas dan kelemahan yang banyak sehingga mereka tidak sanggup dibandingkan dengan makhluk lain. Telah kita ketahui bahwa di setiap kelemahan yang dimiliki insan –seperti sifat tamak, dengki, benci, marah, kejam, dan berahi- terkandung banyak sekali kekuatan negatif menyerupai nafsu untuk merusak, menyia-nyiakan segala sesuatu, dan hasrat untuk membuat kekacauan dengan tingkat yang berbeda-beda. Sebab itulah setiap insan tidak sanggup lari dari hal-hal jelek jikalau insan yang bersangkutan tidak bisa mengendalikan keinginan buruknya dengan pendidikan yang baik, supaya ia sanggup menjadi insan yang baik. Selain itu ia juga harus mau memenuhi semua kontrak sosial (social contract) dengan menyadari keberadaan orang lain dalam semua keinginan, kesenangan, kesedihan, hak, dan kebebasan.
Pendidikan yang sanggup mengangkat harkat insan dari insan "potensial" menjadi insan "nyata" yaitu pendidikan yang mempunyai dimensi ketuhanan. Kebudayaan kita harus mendapat nutrisi dari bunga yang tumbuh di taman kita dan dari sari pati spiritualitas kita sendiri. Semua itu harus dilakukan supaya insan tidak ditolak oleh kesadaran kolektif masyarakat dan dari kesadaran sejarah.
Kontrak sosial harus terwujud dalam bentuk terbaik sesuai dengan kondisi zaman dan dalam kerangka hak dan kemerdekaan manusia. Dengan demikian, maka setiap komunitas tidak akan kehilangan kekuatan, otoritas, kehormatan, dan harga diri mereka dalam konflik yang mungkin terjadi. Mereka juga tidak akan terperosok ke dalam bulat kerusakan yang selalu muncul di tengah konflik.
Tapi yang saya maksud dengan "kontrak sosial" di sini bukanlah sebuah kontrak kolektif yang tertulis hitam di atas putih dengan tanda tangan para tokoh masyarakat di atasnya. Yang saya maksud yaitu sebuah "kesepakatan bersama" untuk setia kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diikat dalam sebuah "kontrak" atau perjanjian yang diikat dan dibatasi oleh prinsip hak manusia, kebebasan, dan kecintaan pada kebenaran.
Selain itu, batas dan kerangka "kontrak" ini juga ditentukan oleh kondisi jiwa, tingkat spiritualitas setiap individu, keterserapan iman dan keyakinan ke dalam watak individu. Dengan proses menyerupai ini, maka kesadaran individu sanggup seimbang dengan kualitas kemanusiaan yang dimilikinya. Sebuah komunitas yang terdiri dari individu-individu yang sudah melewati batas-batas fisik-jasmani dan kemudian hidup dalam kehidupan spiritual-rohani yaitu komunitas ideal yang sanggup menjadi pola keteraturan. Di dunia manusia, keteraturan menyerupai ini selalu menjadi impian dan harapan yang hendak dicapai di masa depan, alasannya keteraturan menjadi cermin yang merefleksikan harmoni universal yang mencakup segala entitas.
Di dunia kita, negara berperan menyerupai nahkoda kapal yang mengurus aspek-aspek terpenting dalam kehidupan yang terbentuk dari moralitas dan keluhuran. Maka kiprah nahkoda yaitu mendayagunakan dan mengarahkan semua elemen yang berada di bawah kendalinya dengan sebaik-baiknya, serta menghantarkan mereka semua ke tujuan tanpa harus bertabrakan dengan gelombang malapetaka. Tentu saja hal itu hanya sanggup terwujud dengan membuat harmoni antara semua awak yang dipimpin oleh sang nahkoda dengan keteraturan alam semesta.
Kita tentu tidak sanggup membayangkan akan adanya sebuah masyarakat yang baik atau negara yang andal tapi diisi oleh individu-individu yang selalu menolak nilai-nilai luhur dan menentukan untuk menjadi segerombolan insan tak bermoral. Selain itu kita juga setuju bahwa masa depan yang diisi oleh para pembuat onar yang mengidap banyak sekali macam penyakit masyarakat pasti hanyalah omong kosong yang tidak ada artinya.
Jadi apapun istilah atau bentuk yang digunakan, impian untuk mencapai sesuatu atas nama stabilitas dan kemanan, tapi dilakukan dengan memakai kekerasan senjata, pasti hal itu tidak lebih dari sekedar impian belaka. Kaprikornus jikalau negara atau pemerintah berharap akan bisa menjaga stabilitas dengan cara itu, maka itu yaitu sebuah kebohongan yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Sebuah negara atau pemerintah tidak akan pernah tegak dengan kokoh kecuali hanya jikalau ia bisa menetapkan tujuan ideal yang akan menjamin kehidupan lebih baik bagi masyarakat. Caranya yaitu dengan menentukan kiprah setiap elemen masyarakat dan kemudian mengarahkannya pada sebuah tujuan tunggal. Singkatnya, kita harus merancang sebuah "tujuan tunggal" dalam setiap tindakan yang kita lakukan.
Ya. Setiap individu dan setiap elemen kehidupan memang harus menyiapkan dan merancang diri mereka masing-masing untuk mengangkat harkat umat insan menuju puncak kejayaan. Hal itu perlu dilakukan supaya semua perhitungan dan sumbangsih –meski sekecil apapun juga- yang diberikan setiap individu tidak akan melanggar harmoni alam semesta, dan supaya semua komunitas insan yang bermacam ragamnya tidak saling menghantam satu sama lain menyerupai ombak lautan.
Dulu, ketika fatwa Islam menguasai seluruh aspek kehidupan, kita pernah mencapai kejayaan menyerupai yang saya jelaskan di atas. Pada ketika itu, umat insan bergerak maju dalam harmoni yang bersijalin dengan gerak alamiah mereka. Pada masa keemasan itu Islam berhasil membuat setiap individu dan elemen masyarakat menjadi soko guru bagi keteraturan alam semesta.
Dengan merevisi cara pandang kita terhadap "keteraturan" dan dengan memperbarui keyakinan kita bahwa keinginan kitalah yang akan membawa harmoni ilahi ke dunia makhluk dan kehidupan manusia. Kita juga akan sanggup menarik keseimbangan dalam hubungan internasional ke poros ini. Inilah sumbangsih terbesar dari generasi modern kepada masa yang akan datang. Saya menerka bahwa kita mempunyai semua perangkat yang diperlukan untuk mengemban misi penting ini. Asalkan kita mau menelisik lagi keinginan kita, meneliti lagi kedudukan kita di depan Allah, menentukan lagi tujuan nasional kita, mengkonsolidasi taktik dan kebijakan yang kita ambil, dan merealisasikan semua rancangan yang telah kita miliki.
Pada mulanya, keteraturan terkesan sebagai produk dari kehendak dan pemikiran insan yang bangkit sendiri. Sebab pikiran memang tidak berada di bawah kendali jiwa dan tidak pernah bisa menetapkan hubungan dengan kejahatan. Bahkan banyak naluri baik yang terdapat di dalam pikiran bermetamorfosis ratapan yang kemudian menyimpang menjadi kekacauan.
Sejak jagad raya tercipta, semua makhluk selain insan selalu berada dalam keteraturan. Harmoni dalam gerakan molekul, keserasian dalam penampilan bunga, keseimbangan dan keserasian antara semua makhluk baik yang hidup maupun yang mati, peredaran bintang-bintang di langit yang menuturkan puisi untuk kita, berbagai makna yang disampaikan oleh bunga, dedauan, dan ranting-dahan pepohonan... Semuanya bergerak dalam keteraturan luar biasa yang melingkupi segalanya.
Ya. Jika nurani insan mau merenungi "kitab penciptaan" barang sejenak, pastilah ia akan sanggup melihat keteraturan dan harmoni tersebar di seluruh semesta. Semuanya akan terlihat indah dengan kandungan makna yang dahsyat. Untuk sanggup melaksanakan itu, kita tidak perlu mempunyai tingkat sensitifitas yang tinggi, alasannya hati insan –termasuk yang mempunyai tingkat kepekaan yang rendah- pasti bisa mencicipi setiap warna, rupa, suara, dan keindahan syair atau lagu dengan warna tak terhingga yang terkandung dalam gelegar petir menyerupai yang juga terkandung di dalam kicauan burung; dalam penampilan bunga yang indah menyerupai yang juga terkandung dalam keindahan langit malam. Tapi orang-orang yang berada di barisan terdepan di antara mereka yang melangkah ke depan yaitu mereka yang memahami fisika, kimia, dan biologi, dan astrofisika kehidupan.
Segala sesuatu berkata: keteraturan... harmoni...
Segala sesuatu melantunkan makna spiritual yang terkandung di dalam segenap entitas. Segala sesuatu: dari kegundahan ombak samudera hingga nyanyian sendu padang pasir yang tak pernah henti memetik dawai hati kita; dari keheningan lembah hingga puncak ketinggian gunung-gunung; dari kedalaman maritim yang sunyi hingga kemeriahan langit malam.
Jika segala sesuatu begitu teratur dan harmonis, maka bagaimanakah gotong royong ketidakteraturan –yang kita sebut "kekacauan"- bisa terjadi di muka bumi?
Dunia memang mengenal kekacauan dan kesemrawutan dari tingkah-polah insan yang akalnya tidak mau tunduk kepada Allah, membiarkan hasrat mereka tunduk pada kejahatan, dan tidak pernah mengisi hati mereka dengan kebaikan.
Manusia yaitu satu jenis makhluk dengan pelbagai ambisi yang tak terbatas dan kelemahan yang banyak sehingga mereka tidak sanggup dibandingkan dengan makhluk lain. Telah kita ketahui bahwa di setiap kelemahan yang dimiliki insan –seperti sifat tamak, dengki, benci, marah, kejam, dan berahi- terkandung banyak sekali kekuatan negatif menyerupai nafsu untuk merusak, menyia-nyiakan segala sesuatu, dan hasrat untuk membuat kekacauan dengan tingkat yang berbeda-beda. Sebab itulah setiap insan tidak sanggup lari dari hal-hal jelek jikalau insan yang bersangkutan tidak bisa mengendalikan keinginan buruknya dengan pendidikan yang baik, supaya ia sanggup menjadi insan yang baik. Selain itu ia juga harus mau memenuhi semua kontrak sosial (social contract) dengan menyadari keberadaan orang lain dalam semua keinginan, kesenangan, kesedihan, hak, dan kebebasan.
Pendidikan yang sanggup mengangkat harkat insan dari insan "potensial" menjadi insan "nyata" yaitu pendidikan yang mempunyai dimensi ketuhanan. Kebudayaan kita harus mendapat nutrisi dari bunga yang tumbuh di taman kita dan dari sari pati spiritualitas kita sendiri. Semua itu harus dilakukan supaya insan tidak ditolak oleh kesadaran kolektif masyarakat dan dari kesadaran sejarah.
Kontrak sosial harus terwujud dalam bentuk terbaik sesuai dengan kondisi zaman dan dalam kerangka hak dan kemerdekaan manusia. Dengan demikian, maka setiap komunitas tidak akan kehilangan kekuatan, otoritas, kehormatan, dan harga diri mereka dalam konflik yang mungkin terjadi. Mereka juga tidak akan terperosok ke dalam bulat kerusakan yang selalu muncul di tengah konflik.
Tapi yang saya maksud dengan "kontrak sosial" di sini bukanlah sebuah kontrak kolektif yang tertulis hitam di atas putih dengan tanda tangan para tokoh masyarakat di atasnya. Yang saya maksud yaitu sebuah "kesepakatan bersama" untuk setia kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diikat dalam sebuah "kontrak" atau perjanjian yang diikat dan dibatasi oleh prinsip hak manusia, kebebasan, dan kecintaan pada kebenaran.
Selain itu, batas dan kerangka "kontrak" ini juga ditentukan oleh kondisi jiwa, tingkat spiritualitas setiap individu, keterserapan iman dan keyakinan ke dalam watak individu. Dengan proses menyerupai ini, maka kesadaran individu sanggup seimbang dengan kualitas kemanusiaan yang dimilikinya. Sebuah komunitas yang terdiri dari individu-individu yang sudah melewati batas-batas fisik-jasmani dan kemudian hidup dalam kehidupan spiritual-rohani yaitu komunitas ideal yang sanggup menjadi pola keteraturan. Di dunia manusia, keteraturan menyerupai ini selalu menjadi impian dan harapan yang hendak dicapai di masa depan, alasannya keteraturan menjadi cermin yang merefleksikan harmoni universal yang mencakup segala entitas.
Di dunia kita, negara berperan menyerupai nahkoda kapal yang mengurus aspek-aspek terpenting dalam kehidupan yang terbentuk dari moralitas dan keluhuran. Maka kiprah nahkoda yaitu mendayagunakan dan mengarahkan semua elemen yang berada di bawah kendalinya dengan sebaik-baiknya, serta menghantarkan mereka semua ke tujuan tanpa harus bertabrakan dengan gelombang malapetaka. Tentu saja hal itu hanya sanggup terwujud dengan membuat harmoni antara semua awak yang dipimpin oleh sang nahkoda dengan keteraturan alam semesta.
Kita tentu tidak sanggup membayangkan akan adanya sebuah masyarakat yang baik atau negara yang andal tapi diisi oleh individu-individu yang selalu menolak nilai-nilai luhur dan menentukan untuk menjadi segerombolan insan tak bermoral. Selain itu kita juga setuju bahwa masa depan yang diisi oleh para pembuat onar yang mengidap banyak sekali macam penyakit masyarakat pasti hanyalah omong kosong yang tidak ada artinya.
Jadi apapun istilah atau bentuk yang digunakan, impian untuk mencapai sesuatu atas nama stabilitas dan kemanan, tapi dilakukan dengan memakai kekerasan senjata, pasti hal itu tidak lebih dari sekedar impian belaka. Kaprikornus jikalau negara atau pemerintah berharap akan bisa menjaga stabilitas dengan cara itu, maka itu yaitu sebuah kebohongan yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Sebuah negara atau pemerintah tidak akan pernah tegak dengan kokoh kecuali hanya jikalau ia bisa menetapkan tujuan ideal yang akan menjamin kehidupan lebih baik bagi masyarakat. Caranya yaitu dengan menentukan kiprah setiap elemen masyarakat dan kemudian mengarahkannya pada sebuah tujuan tunggal. Singkatnya, kita harus merancang sebuah "tujuan tunggal" dalam setiap tindakan yang kita lakukan.
Ya. Setiap individu dan setiap elemen kehidupan memang harus menyiapkan dan merancang diri mereka masing-masing untuk mengangkat harkat umat insan menuju puncak kejayaan. Hal itu perlu dilakukan supaya semua perhitungan dan sumbangsih –meski sekecil apapun juga- yang diberikan setiap individu tidak akan melanggar harmoni alam semesta, dan supaya semua komunitas insan yang bermacam ragamnya tidak saling menghantam satu sama lain menyerupai ombak lautan.
Dulu, ketika fatwa Islam menguasai seluruh aspek kehidupan, kita pernah mencapai kejayaan menyerupai yang saya jelaskan di atas. Pada ketika itu, umat insan bergerak maju dalam harmoni yang bersijalin dengan gerak alamiah mereka. Pada masa keemasan itu Islam berhasil membuat setiap individu dan elemen masyarakat menjadi soko guru bagi keteraturan alam semesta.
Dengan merevisi cara pandang kita terhadap "keteraturan" dan dengan memperbarui keyakinan kita bahwa keinginan kitalah yang akan membawa harmoni ilahi ke dunia makhluk dan kehidupan manusia. Kita juga akan sanggup menarik keseimbangan dalam hubungan internasional ke poros ini. Inilah sumbangsih terbesar dari generasi modern kepada masa yang akan datang. Saya menerka bahwa kita mempunyai semua perangkat yang diperlukan untuk mengemban misi penting ini. Asalkan kita mau menelisik lagi keinginan kita, meneliti lagi kedudukan kita di depan Allah, menentukan lagi tujuan nasional kita, mengkonsolidasi taktik dan kebijakan yang kita ambil, dan merealisasikan semua rancangan yang telah kita miliki.
0 Response to "Bangkitnya Spiritual Islam"
Post a Comment