Mengenai aturan perihal mengeraskan bunyi ketika berdzikir ataupun ketika melaksanakan shalat dalam hal ini sebagian ulama berbeda pendapat namun tidak menyebabkan hal tersebut sebagai suatu pertentangan, dimana diantara mereka ada ulama yang membolehkan dan bahkan ada yang menyunatkan.
Menurut beberapa orang yang sudah menunaikan ibadah haji dan kalau kita mau melihatnya ditayangan televisi maka Anda akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melaksanakan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia.
Dalil yang Kaprikornus Rujukan
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Mengeraskan bunyi pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu kalau saya mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui bunyi takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan bunyi pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang beropini menyerupai ini ialah Ibnu Hazm. Beliau berkata,
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
“Mengeraskan bunyi dengan bertakbir pada dzikir setelah shalat ialah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
Pendapat Jumhur ulama menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka bahagia bertakbir dikala peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini ialah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).” (Fathul Bari, 2: 325-326)
Pendapat jumhur Ulama yang lain Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika hingga ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan bunyi kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah bunyi kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menawarkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan bunyi keras dikala dzikir dan do’a.
Ath Thobari rahimahullah berkata,
فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى
“Hadits ini menawarkan dimakruhkannya mengeraskan bunyi pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135)[1]
Adapun tawaran mengeraskan bunyi pada dzikir setelah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu. Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat dominan ulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 151) berkata,
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم
“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang saya tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa dia tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang dia juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”
Imam Syafi’i beropini bahwa asal dzikir ialah dengan bunyi lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110). Imam Syafi’i rahimahullah berkata perihal ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak sanggup mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)
Didalam kehidupan yang Rancu dan Merancukan menyerupai dikala in memang terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai segala sesuatu namun demikianlah hendaklah hal tersebut tidak menyebabkan sebuah wacana untuk perdebatan dan tabrak kebenaran serta pertikaian. hendaklah kita kembalikan segalanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala alasannya ialah setiap segala sesuatu yang diajarkan kepada kita niscaya akan ada hikmahnya, kembalikanlah semua kepada Niat untuk mencari Ridha Nya.
Wallahu A'lam
0 Response to "Mengeraskan Bunyi Dikala Dzikir Atau Shalat"
Post a Comment