Adab Berbicara

ADAB BERBICARA
     #Oleh: Abu Samah Al Hafidz

            Berbicara yaitu hal yang sangat manusiawi atau fitrah insaniyah. Sebagai pedoman yang syamil dan mutakamil (komprehensif dan utuh), Islam juga sangat memperhatikan dengan lisan sehingga memperlihatkan aba-aba yang termaktub dalam adaabul hadits (adab berbicara).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa lisan sanggup membawa atau mengakibatkan seseorang masuk nirwana atau neraka. Dan di hadits lainnya diingatkan bahwa setiap anak cucu Adam akan diminta pertanggung balasan atas perkataan-perkataannya, baik yang sengaja maupun tidak

Manfaat adat dalam berbicara

1. Bisa menikmati kondisi membisu sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya, alasannya yaitu segala perkataan Rasul yaitu bernilai dzikir dalam pengertian yang luas. Bila ia berbicara, maka bicaranya dzikir dan bila ia diam, diamnya yaitu dalam rangka berfikir.

2. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau (lebih baik) diam”.
(HR. Bukhari Dan Muslim)

3. Bila kita biasa mematuhi adat berbicara, maka kita akan mempunyai kemampuan menasehati secara baik. Karena jikalau terlalu mengumbar lisan, perkataan dan nasehat kita membekas atau memberi kesan mendalam terhadap orang yang kita nasehati, hendaknya kita senantiasa menjaga shalat lail, shaum sunnah, tadarrus Al-Qur’an dan shalat sunnah rawatib.

4. Terhindar dari menjadi ulama yang su’ (ulama yang buruk). Penampilan ulama su’ ini terkesan alim, islami namun ternyata di dalamnya busuk, sesat dan menyesatkan. dalam QS. Ash-Shaff ayat 2-3, Allah mengingatkan dan mengancam orang-orang yang tidak mempunyai kesesuaian antara kata dan perbuatan

Agar bisa meraih manfaat tersebut, seorang Muslim harus mematuhi adab-adab berbicara, yakni :

1. Wadih. Bila kita berbicara hendaknya kata-kata kita wadih alias jelas, tegas, lugas dan gampang dicerna atau difahami. Hadits dari Aisyah r.a: “Adalah kata-kata Rasulullah, kata-kata yang terperinci dan gampang difahami oleh orang yang mendengar di sekitarnya”. Apalagi tujuan komunikasi yang utama yaitu memperlihatkan pengertian atau kefahaman kepada orang yang diajak berkomunikasi Rasulullah SAW selalu mencontohkan bagaimana berbicara dengan wadih, sampai-sampai sahabat-sahabat bisa menghitung kata-kata yang disampaikan beliau.

2. Sederhana dan tidak difasih-fasihkan. Hendaknya seorang Muslim berbicara dengan bahasa yang sederhana, masuk akal tidak dilebih-lebihkan atau sok fasih. Se
layaknyalah kita melihat siapa orang yang kita ajak bicara apakah seorang yang terdidik atau bukan. Rasulullah SAW bersabda: “Berbicalah kepada insan sesuai dengan kadar intelektualitas mereka”.

3. Menghindari pengulangan pembicaan yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud biasa memperlihatkan taushiyah atau nasehat setiap hari kamis, sehingga sahabat yang lain pernah berkata padanya: “Hai Abu Abdurrahman, seandainya saja engkau bisa memberi nasehat setiap hari, pasti kami akan senang”. Namun Ibnu Mas’ud malah menjawab, kami hanya memperlihatkan nasehat sekali-sekali saja, alasannya yaitu Rasulullah juga hanya sekali-sekali saja memberi nasehat. Pada ketika kami berada di dalam majelis.

4. Kata-kata yang dipakai hendaknya hanya kata-kata yang baik dan bernilai ibadah: Hindarilah kata-kata yang bersifat laghwi (sia-sia / tidak bermanfaat). Dalam hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW: “Min husnil Islamil ma’i tarku ma laa ya’ nihi”.(HR. Tirmidzi). Termasuk di dalam kebaikan keislaman seseorang, maka ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, termasuk kata-kata laghwi. Yang termasuk kategori kata-kata baik yaitu salam, tegur sapa, nasehat, kata-kata yang memberi semangat, menghibur dan menghindari kata-kata laghwi (QS 23:3) sebagai ciri-ciri orang yang beriman.

Di dalam majelis selain ada yang berbicara tentu saja harus ada yang menjadi pendengar, alasannya yaitu itu selain adaabul hadits diharapkan pula adaabul istima’.
Dalam badan insan boleh dibilang telingalah organ yang paling awal berfungsi dan kelak organ ini pula yang paling terakhir berhenti berfungsi.
Sahabat Nabi SAW, Abu Darda r.a pernah mengeluarkan kata-kata bijak: “Hendaknya kita mencar ilmu dari organ-organ badan yang diberikan Allah kepada kita. Mengapa Ia memberi kita dua indera pendengaran dan satu mulut, itu artinya kita harus lebih banyak mendengar ketimbang berbicara”.

Dan memang ternyata jauh lebih sulit menjadi pendengar yang baik daripada pembicara yang baik. Bahkan kadang kala kita menemui bahwa dalam satu majelis, ada orang-orang yang berbicara pada ketika yang bersamaan dan tidak mau saling mendengar satu sama lain.

Karena itu penting bagi kita mencar ilmu mendengar. Ada saat-saat berbicara, tetapi ada juga saat-saat mendengar, sehingga penting bagi kita untuk mengetahui apa-apa saja yang termasuk adat mendengar dalam perspektif Islam:

1. Diam dan mendengarkan dengan baik dan seksama, maksudnya kita harus tahu kapan ketika berbicara dan kapan ketika membisu dan mendengarkan. Bila sedang terjadi pembicaraan hendaknya kita berlaku santun, mendengarkan dan menyimak dengan baik dan seksama. Hendaknya kita tidak mengobrol dengan sesama pendengar lainnya.

2. Tidak boleh memotong pembicaraan. Bila memang penting bagi kita alasannya yaitu ada hal yang penting yang harus diinformasikan atau dikoreksi, hendaknya kita meminta izin dengan mengacungkan jari lebih dulu dan meminta maaf, bila tidak diizinkan hendaknya kita catat untuk kita tanyakan atau sampaikan sesudah pembicara menuntaskan uraiannya.

3. Menerima dan menghargai pembicaraan orang lain serta tidak meninggalkannya di ketika selama isinya dalam rangka ketaatan pada Allah SWT, walaupun ada yang membosankan.

4. Tidak menepiskan pembicaraan orang lain walaupun kita sudah mengetahuinya selama tidak ada yang salah dalam kata-kata tsb. Atha’bin Rabah pernah diberitahu informasi oleh seseorang sementara hal itu gotong royong sudah diketahui oleh Atha’ semenjak sebelum orang itu lahir. Namun Atha’ tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.

5. Tidak memperlihatkan pada hadirin bahwa kita yang paling atau lebih banyak tahu. Sehingga contohnya sering berceletuk, berkomentar yang mengganggu, kecuali bila memang ditanya atau dirasakan sangat perlu
. Wallahu’alam.

0 Response to "Adab Berbicara"

Post a Comment