Sutrah
Oleh : Abu Samah Al Hafidz
Jangan Engkau Shalat Kecuali Menghadap Sutrah atau Pembatas
Sutrah (pembatas) harus ada di hadapan orang yang sedang shalat lantaran dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu korelasi ia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Oleh alasannya yakni itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melaksanakan dosa yang besar.
A. Pengertian Sutrah
Sutrah yakni sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat yakni apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, ibarat dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya ketika ia sedang shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat lantaran dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu korelasi ia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Oleh alasannya yakni itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melaksanakan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58).
B. Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang beropini wajib dengan yang beropini sunnah. Jumhur ulama beropini hukumnya sunnah, sehingga menurut pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Ø Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyAllahu ‘anhu secara marfu’:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia, kemudian ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya lantaran dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ucapan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,” menawarkan bahwa orang yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks ibarat ini menawarkan demikian, tidak semua orang shalat menghadap sutrah.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku tiba dengan menunggang keledai betina, ketika itu saya menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat mengimami insan di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau. Lalu saya lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya saya turun dari keledai tersebut dan saya membiarkannya pergi merumput. Kemudian saya masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut.” (HR. Al-Bukhari no 493 dan Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz:“Ila Ghairi Jidaarin”
Dari lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau) dipahami bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa ada sutrah di hadapannya.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma juga, ia berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Ø Pendapat yang lain yakni sutrah hukumnya wajib.
Dalilnya antara lain sabda Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah lantaran bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)
Demikian pula perintah dia untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. WAllahu a’lam bish-shawab.
Adapun dalil yang digunakan oleh jumhur dijawab sebagai berikut:
@ Hadits Abu Sa’id radhiyAllahu ‘anhu yang menawarkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah dia untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.
@ Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma:
وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Sementara Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat mengimami insan di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.” Tidaklah menampik kemungkinan dia shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kepingan Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab: Sutrah imam yakni sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, “Seakan-akan Al-Bukhari membawa kasus ini pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, yaitu tidaklah dia melaksanakan shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan dia (sebagai sutrahnya).” (Fathul Bari, 1/739)
Di samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafad إِلَى جِدَارغَيْرِ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.
Karena itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih ibarat Al-Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat bersutrah dengan tombak. (Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)
@ Sedangkan hadits:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” yakni hadits yang lemah lantaran dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah, seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib-nya hal.92, “Ia yakni rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melaksanakan tadlis.” (Adh-Dha’ifah no. 5814)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata, “Pendapat yang menyampaikan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah mengakibatkan hadits ini sebagai judul kepingan dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ …
“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Termasuk kasus yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan alasannya yakni syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya perempuan yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (4/8-15).” (Tamamul Minnah, hal. 300).
C. Mendekat kepada Sutrah
Orang yang meletakkan sutrah atau mengakibatkan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut semoga setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut semoga setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” yakni semoga setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.
Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari , “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah sanggup mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Sementara, tidak menggunakan sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/115)
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyAllahu ‘anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara daerah berdirinya Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding yakni sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini menawarkan bahwa merupakan kasus sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ radhiyAllahu ‘anhu menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak sanggup melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bangkit di samping mimbar, lantaran tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara dia dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang menyampaikan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya yakni hadits Bilal radhiyAllahu ‘anhu:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, jarak antara dia dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim yakni sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal yakni pada keadaan bangkit dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)
Faedah
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, kalau memang tiang itu bersahabat dengannya. Begitu pula kalau tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Bergeser ibarat ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah, 2/156). WAllahu a’lam.
@ Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam batal atau tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan anjing hitam.
@ Dipahami dari hadits di atas yakni bila seseorang shalat sementara di hadapannya ada sutrah namun jarak antara dia dengan sutrahnya jauh, berarti dia memberi peluang kepada setan untuk mengganggu shalatnya. Sehingga bagaimana kiranya bila ada orang yang shalat sementara di hadapannya tidak ada sutrah? Hadits ini bisa menjadi dalil perihal wajibnya sutrah.
@ Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan daerah sujud. (Al-Minhaj, 4/449)
@ Karena rangkaian sanadnya yakni dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Bilal.
D. Sutrah dalam Shalat
ü Tiang masjid
Tiang yang ada di masjid sanggup dijadikan sebagai sutrah sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Adalah Salamah ibnul Akwa’ radhiyAllahu ‘anhu menentukan shalat di sisi tiang masjid daerah menyimpan mushaf. Maka saya tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, saya melihatmu menyengaja menentukan shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا
“Aku melihat Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam menentukan shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)
ü Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma memberitakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, dia memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak kemudian ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian dia shalat menghadapnya sementara insan menjadi makmum di belakang beliau. Dan dia juga melaksanakan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)
ü Hewan tunggangan
Ibnu Umar radhiyAllahu ‘anhuma mengabarkan perbuatan Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
“Sesungguhnya Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam melintangkan binatang tunggangannya (antara dia dengan kiblat), kemudian shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)
ü Pohon
Sekali waktu Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad rahimahullahu (1/138) dari Ali bin Abi Thalib radhiyAllahu ‘anhu, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ
“Sungguh saya melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, dia sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa sampai pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/120)
ü Dinding/tembok
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyAllahu ‘anhu yang telah disebutkan ketika membahas perihal mendekat dengan sutrah.
ü Tempat tidur
Beliau ShallAllahu ‘alaihi wa sallam mengakibatkan daerah tidur sebagai sutrahnya sebagaimana info dari istri beliau, Aisyah radhiyAllahu ‘anha:
لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي
“Sungguh saya melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas daerah tidur kemudian Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam datang, dia bangkit menghadap kepingan tengah daerah tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain, Aisyah radhiyAllahu ‘anha berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ
“Sungguh saya melihat Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat sementara saya berada di antara dia dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas daerah tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)
ü Benda yang tinggi
Boleh mengakibatkan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl yakni kayu yang berada di kepingan belakang pelana binatang tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang binatang tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)
Aisyah radhiyAllahu ‘anha berkata, “Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk perihal tinggi sutrah orang yang shalat. Maka dia menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)
v Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)
Al-Qarafi rahimahullahu mengatakan, “Ini yakni pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)
Walaupun ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis sanggup dijadikan sebagai sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiyAllahu ‘anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia mengakibatkan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapat sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia menciptakan sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah, “Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan mereka lebih besar lengan berkuasa argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu perihal permasalahan ini.
Al-Hafizh rahimahullahu telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t, di mana disebutkan dia berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”
Sementara dalam At-Talkhish, Al-Hafizh rahimahullahu menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam Al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian dia (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”
Dalam At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni rahimahullahu berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i rahimahullahu berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup menciptakan garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit.’ Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah yakni batil.’
Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini yakni Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar lantaran hadits ini mempunyai dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/414)
@ Faedah
Al-Qarafi rahimahullahu berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, “bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, ibarat garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155). Wallahu’alam.
0 Response to "Jangan Engkau Shalat Kecuali Menghadap Sutrah Atau"
Post a Comment