Puasa Syawal Bagaikan Puasa Satu Tahun
Oleh: Abu Samah Al Hafidz
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan yaitu melaksanakan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …
“Maukah saya tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa yaitu perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa yaitu perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di alam abadi nanti yaitu perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
Oleh alasannya yaitu itu, untuk mendapat kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah sehabis melaksanakan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan sehabis melaksanakan puasa wajib (puasa Ramadhan) yaitu puasa enam hari di bulan Syawal.
Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini sanggup dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, ia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa menyerupai setahun penuh.” (HR. Muslim)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas perihal dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah alasannya yaitu bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)
“Barang siapa berpuasa enam hari sehabis hari raya Idul Fitri, maka dia menyerupai berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Orang yang melaksanakan satu kebaikan akan mendapat sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan yaitu selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal yaitu enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh alasannya yaitu itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapat puasa menyerupai setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memperlihatkan nikmat ini bagi umat Islam.
Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan Syawal?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i menyampaikan bahwa paling afdhol (utama) melaksanakan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) sehabis shalat ‘Idul Fithri. Namun jikalau tidak berurutan atau diakhirkan sampai simpulan Syawal maka seseorang tetap mendapat keutamaan puasa syawal sehabis sebelumnya melaksanakan puasa Ramadhan.” Oleh alasannya yaitu itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari sehabis Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, alasannya yaitu dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal sampai keluar waktu (bulan Syawal) alasannya yaitu bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapat ganjaran puasa syawal.
Catatan: Apabila seseorang mempunyai udzur (halangan) menyerupai sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang menyerupai ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih mempunyai qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melaksanakan puasa Syawal. Karena tentu saja masalah yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada masalah yang sunnah. Alasan lainnya yaitu alasannya yaitu dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Makara apabila puasa Ramadhannya belum tepat alasannya yaitu masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu biar mendapat pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapat ganjaran puasa Syawal alasannya yaitu kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melaksanakan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab ia Syarhul Mumthi’, 3/89 alasannya yaitu seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut yaitu mulai dari matahari bergeser ke barat sampai panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di simpulan waktu contohnya jam 2 siang alasannya yaitu udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melaksanakan shalat sunnah kemudian melaksanakan shalat wajib? Jawabnya boleh, alasannya yaitu waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal alasannya yaitu puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapat ganjaran menyerupai berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam problem ini!
Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini sanggup dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya kemudian menanyakan: “Apakah kalian mempunyai sesuatu (yang sanggup dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari dikala melaksanakan puasa sunnah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian ia membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Semoga dengan sedikit klarifikasi ini sanggup mendorong kita melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.
0 Response to "Puasa Syawal"
Post a Comment